Seminar Pembahasan dan Rekomendasi Amandemen
Diselenggarakan oleh Dewan Pertimbangan Presiden, 18 Maret 2009 di Jakarta.
Dr. Valina Singka Subekti, MA (Pembahas)
Ketua Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP-Universitas Indonesia.
Pokok pikiran dan rekomendasai Amandemen UUD 1945 tahap lima disusun oleh DPD, Komisi Konstitusi, Forum Rektor, Komisi Hukum Nasional dan disampaikan dalam seminar yang diselenggarakan oleh Dewan Pertimbangan Presiden sebagai masukan kepada Presiden dalam rangka amandemen selanjutnya.
Mengapa lembaga dan kelompok-kelompok itu mengajukan usulan amandemen, apa urgensinya dan pokok pikiran apa yang sampaikan?
Salah satu yang menjadi perhatian saya adalah draft yang disusun oleh Komisi Konstitusi (KK). Saya menghargai usulan KK perlunya amandemen selanjutnya yang berangkat dengan cara pandang yang tidak menyalahkan atau memburukkan hasil perubahan sebelumnya, tetapi memberi apresiasi dan mendukung terhadap hasil perubahan. Hal ini menurut saya penting agar bangsa ini tidak berputar pada kebiasaan untuk menyalahkan sesuatu yang sudah ada sebelumnya dalam rangka membuat sesuatu yang baru. Menurut saya perjalanan bangsa ini masih sangat panjang dan konstitusi itu akan terus berkembang dinamis sesuai kebutuhan masyarakat dan jamannya. Ia adalah rangkaian proses yang tiada berkesudahan melalui thesis, antithesis dan sinthesa untuk mencapai hasil yang terbaik. Perlu dicatat disini bahwa aspirasi Ibu dan Bapak sekalian untuk melakukan amandemen tidak akan mungkin dilakukan apabila tidak ada Perubahan Pertama sampai Perubahan Keempat UUD 1945 yang dilakukan MPR selama 1999-2002. Ini adalah bagian dari proses sejarah bangsa Indonesia yang harus diterima sebagai satu keniscayaan.
Menurut KK Perubahan UUD 1945 yang dilakukan MPR antara 1999-2002 telah berhasil mendesakralisasi UUD 1945 dan menjadikannya sebagai living constitution, membuatnya menjadi konsitusi yang di dalamnya mengandung prinsip-prinsip konstitusionalisme yang antara lain dicerminkan oleh kepastian bahwa keadulatan rakyat dilaksanakan oleh rakyat sesuai ketentuan UUD dan Indonesia adalah Negara berdasar hukum. Ini adalah sesuatu yang penting dan mendasar sebab dengan prinsip konstitusionalisme maka konstitusi kita dapat digolongkan sebagai konstitusi yang modern dan dapat menjadi landasan teerbentuknya sistem politik yang demokratis. Komisi Konstitusi juga berpendapat bahwa hasil perubahan UUD 1945 telah memberi kontribusi positif terhadap upaya perbaikan sistem ketatanegaraan Indonesia dengan cara membagi kekuasaan secara seimbang kepada berbagai lembaga Negara dengan prinsip checks and balances.
Di samping itu Komisi Konstitusi memberi beberapa catatan atas hasil perubahan tersebut terutama dua hal terpenting mengenai (1) disain sistem pemerintahan presidensial, dan (2) disain sistem parlemen Indonesia (DPR dan DPD).
Komisi Konstitusi berpandangan bahwa hasil perubahan UUD 1945 telah menganut sistem pemerintahan presidensial tetapi juga masih mengandung unsure sistem pemerintahan parlementer. Beberapa pasal yang menjadi catatan KK adalah Pasal 11 dan Pasal 20, dan seterusnya.
Saya berpandangan bahwa tidak ada praktek sistem presidensial yang persis sama di dunia ini yang tentu prakteknya disesuaikan dengan dinamika proses kesejarahan dan dinamika politik bangsa tersebut dan dikaitkan dengan kebutuhan utama bangsa tersebut yaitu untuk menciptakan pemerintahan yang stabil sehingga dapat membangun perekonomian untuk kesejahteraan rakyat. Pembukaan UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa tujuan kemerdekaan adalah untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umu, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdmaian abadi dan keadilan social. Itulah sebabnya MPR bersepakat untuk menegaskan sistem pemerintahan presidensial dalam UUD 1945 hasil perubahan, yaitu agar dapat terbentuk pemerintahan yang mapan dan kuat sehingga dapat bekerja secara efektif membangun Negara sebesar dan sekompleks Indonesia. Hal ini tidak lain agar tujuan kemerdekaan Indonesia seperti yang dituliskan dalam Pembukaaan UUD 1945 dapat menjadi kenyataan.
Salah satu hasil paling penting adalah mengenai konsep keadulatan rakyat, yang tadinya kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh MPR maka sekarang kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD. Ini adalah perubahan sangat mendasar dan telah merombak keseluruhan logika dari penyusunan kembali distribution on powers dari cabang-cabang kekuasaan negara. Kekuasaan dibagi secara merata di antara lembaga-lembaga Negara dengan menganut prinsip separation of powers. MPR tidak lagi lembaga tertinggi Negara dan MPT terdiri dari anggota DPR dan DPD yang seluruhnya dipilih melalui pemilihan umum. Kedudukan MPR setara dengan lembaga-lembaga Negara lainnya. Kemudian kekuasaan legislasi dikembalikan kepada DPR, namun UUD 1945 memerintahkan bahwa setiap RUU harus dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. UUD 1945 juga mengantisipasi kemungkinan terjadinya keadaan yang sangat menganggu akibat diundangngkannya sebuah UU baru sehingga memberi kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Perpu sebagai penggantu UU. Demikian pula Presiden dipilih langsung oleh rakyat, dibatasi masa jabatannya (fixed term) dua kali masa jabatan dengan pengaturan mekanisme impeachment yang sulit. Dalam hal ini Presiden tidak bisa dijatuhkan oleh DPR karena alasan yang bersifat politis atau sebaliknya Presiden juga tidak bisa membubarkan DPR. Demikian pula kekuasaan kehakiman menjadi kekuasaan yang independent, sementara dibentuk MK dengan 4 kewenangan khusus yaitu melakukan uji konstitusionalitas UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubarab partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilu. MK dalam hal ini antara lain berfungsi sebagai the guardian of the constitution.
Demikian pula mengenai DPD. Lembaga ini memang dikonstruksikan dengan kewenangan legislasi yang terbatas dengan berbagai pertimbangan antara lain untuk memperkuat NKRI dan menghindari kemungkinan semakin sulitnya proses legislasi karena fragmentasi politik yang tinggi, sebab kita menganut sistem multi partai.[1]
Saya berpendapat sebelum melakukan amandemen tahap selanjutnya, yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah membenahi praktek atau implementasi UUD 1945 hasil perubahan. Apakah perintah konstitusi telah dilaksanakan sesuai dengan yang dimaksudkan?. Hal ini sangat penting agar dalam melakukan penambahan atau penyempurnaan --apapun nantinya—telah melewati satu proses implementasi yang benar sehingga evaluasi yang dilakukan dapat rasional.
Ada kemungkinan kesan sistem presidensial dengan nuansa parlementer lebih banyak diakibatkan oleh praktek yang berlangsung terutama dalam relasi antara Presiden dengan DPR. Komisi Konstitusi menyimpulkan adanya nuansa parlementer karena Pasal 20 mengatakan bahwa Presiden bersama dengan DPR dapat mengajukan RUU dan RUU dibahas bersama dengan Presiden. Saya ingin memberi catatan bahwa separation of powers itu tidaklah dilihat secara hitam putih. Ketentuan Pasal 20 sebenarnya adalah praktek yang sudah berlangsung di Indonesia sejak lama dan tidak pernah menimbulkan masalah. Hak veto Presiden semangatnya sebenarnya inheren ada dalam ketentuan Pasal 20, sebab sebuah RUU menjadi UU haruslah persetujuan bersama DPR dan Presiden. Apabila salah satu tidak sepakat maka RUU itu gagal menjadi UU. Sementara dalam praktek di Amerika Serikat, konstitusinya tidak memberi kewenangan kepada Presiden untuk mengajukan RUU, sehingga Presiden diberi hak veto sebagai upaya penyeimbang (checks and balances).
Ada beberapa ketatanegaraan yang kurang sesuai dengan UUD 1945 hasil perubahan. Antara lain, adalah ketentuan dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang kepolisian Negara yang mengatur bahwa untuk mengangkat Kapolri, Presiden memerlukan persetujuan DPR setelah sebelumnya mengajukan calon kapolri kepada DPR. Hal ini sebenarnya DPR telah terlalu jauh memasuki wilayah kekuasaan eksekutif. Penentuan Kapolri tidaklah memerlukan persetujuan DPR sebab adalah institusi yang merupakan bagian eksekutif. Demikian pula ketentuan mengenai pengangkatan Panglima TNI, menurut ketentuan UU No. 34 Tentang TNI, Panglima TNI diangkat Presiden setelah mendapat persetujuan DPR. Padahal menurut UUD 1945 hasil perubahan, Predien memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan darat, Angkatan laut, dan Angkatan Udara. Demikian pula ketentuan UU No. 3 Tahun 2004 Tentang BI yang mengatur bahwa pengangkatan Gubernur BI haruslah dengan persetujuan DPR, sementara tidak ada ketentuan dalam konstitusi yang mengatakan demikian. Khusus mengenai Duta Besar Indonesia maupun Negara sahabat UUD memerintakan Presiden untuk meminta pertimbangan, bukan persetujaun DPR. Mekanisme fit and proper test mestinya ditinjau kembali. Mekanisme hearing seperti di Amerika Serikat untuk jabatan tertentu seperti Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan dapat dipertimbangkan.[2]
Demikian pula mengenai DPD yang kewenangannya dipangkas oleh UU Susduk.[3] UU Susduk dibuat tidak dalam semangat memberdayakan DPD, tetapi ‘memperdayakan’ DPD. Oleh karena itu UU Susduk juga harus diperbaiki untuk menempatkan DPD dalam posisi seperti yang dimaksudkan konstitusi. UUD 1945 hasil perubahan memang memberikan kewenangan legislasi terbatas kepada DPD. Tetapi apabila digunakan secara optimal dan kreatif oleh DPD, dapat secara efektif menyalurkan aspirasi daerah dalam proses pembahasan RUU. DPD dapat ‘ikut membahas’, namun tidak turut serta dalam penetapan. Artinya, sebenarnya DPD dapat duduk bersama sejajar dengan DPR dalam proses pembahasan RUU pada tingkat I yang dimulai dengan pembentukan Pansus (Panitia Khusus). DPR-DPD-Pemerintah merupakan tripartiat yang duduk bersama pada pembahasan tingkat I RUU yang terkait dengan kepentingan daerah. Praktek seperti yang dimasukan oleh konstitusi ini selama ini (DPD periode 2004-2009) belum dilaksanakan.
Sudah seharusnya perintah konstitusi dilaksanakan karena perintah konstitusi itu bersifat imperative. Berbagai peraturan perundangan dan praktek legislative atau praktek relasi antara eksekutif dan legislative hendaknya disesuaikan seperti yang dimaksudkan oleh UUD 1945 hasil Perubahan Pertama sampai Perubahan Keempat. .
[1] Perdebatan di Panitia Ad Hoc I BP MPR (1999-2002) mengenai seberapa jauh kewenangan legislasi yang akan diberikan konstitusi kepada DPD dapat dilihat dalam Valina Singka Subekti. ‘Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan dan Pemikrian dalam Proses Perubahan UUD 1945’, Jakarta: Rajagrafindo, 2008.
[2] Menganai praktek yang eksesif ini dapat dilihat dalam makalah Jakob Tobing, “Refleksi Atas Penyelenggaraan Sistem Pemerintahan Menurut UUD 1945 Setelah Perubahan”, disampaikan dalam Diskusi Tokoh, Kerjasama Forum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta, 17 Desember 2008.
[3] Lihat makalahValina Singka Subekti, “Sistem Perwakilan di Indonesia”, disampaikan dalam Seminar mengenai Amandemen UUD 1945 yang diselenggarakan Komisi Hukum Nasional, Jakarta, Agustus 2008.
Selasa, 14 April 2009
Antuasiame Masyarakat Memilih Tidak Diiringi Kesiapan KPU
Oleh: Valina Singka Subekti
Ketua Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP-UI
Pemilu legislatif baru saja berlangsung kemarin dan warga masyarakat tetap antusias datang ke TPS untuk memberikan suaranya. Namun antusiasme itu tidak diiringi oleh kesiapan KPU sebagai penyelenggara pemilu yang bertugas memberikan pelayanan (service) kapada pemilih. KPU telah gagal memberi perlindungan terhadap hak pilih rakyat yang merupakan kedaulatan rakyat yang paling asasi. Melalui hak pilih itu warga Negara Republik Indonesia setiap lima tahun memberikan suaranya untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden. Sungguh ironis kesadaran warga masyarakat yang cukup baik itu tidak tersalurkan hanya karena kinerja penyelenggara pemilu yang kurang optimal.
Golput
Ribuan dan bahkan jutaan warga masyarakat Indonesia yang memiliki hak pilih terpaksa menjadi golput karena tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Mereka menjadi golput bukan keinginan mereka, namun oleh karena namanya tidak tercantum dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap). DPT kita bermasalah. Ada bayi/anak-anak di bawah umur, yang sudah meninggal, yang sudah pindah tempat tinggal, orang asing, TNI/Polri, tercantum dalam DPT. Namun sebaliknya mereka yang sudah terdaftar pada pemilu 2004 dan Pilkada-Pilkada 2005-2008 justru namanya hilang dari peredaran DPT.
Dua stasiun swasta secara terus menerus menayangkan beragam data yang menggambarkan pelaksanaan pemungutan suara yang umumya berjalan aman namun ditandai kekecewaan warga masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Seperti antara lain, pemilih yang tidak dapat pergi ke TPS karena tidak terdaftar, surat suara yang tertukar antar dapil seperti terjadi di Mojokerto, Ternate, Kebumen, Ponorogo, Gresik, Pinrang Sulsel, dll. Daerah-daerah tidak dapat melaksanakan pemungutan suara karena logistik surat suara belum tiba di TPS seperti di Yahukimo, Panian, NTT, dll, kericuhan di TPS karena warga marah memaksa masuk ke TPS, namun dilarang petugas karena namanya tidak terdapat dalam DPT.
Pelanggaran hak pilih
Berulang kali tertulis ribuan warga sampang Madura tidak terdaftar, ratusan warga di Mimika ngamuk karena tidak terdaftar, Manokwari ricuh karena mahasiswa tidak terdaftar, 900 warga Muara Bungo di Sumsel tidak mencotreng karena tidak terdaftar, ribuan masyarakat Betawi pendukung Mandra protes karena tidak terdaftar. Ratusan warga Papua di DIY yang punya formulir A5 dan yang tidak memilikinya mengamuk sehingga pada akhirnya KPU akan menggelar pemilu susulan. Demikian rendahnya kualitas penyelenggaraan sehingga Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat (JPPR) melaporkan telah terjadi pelanggaran DPT dalam pemungutan suara sebanyak 40%, pelanggaran logistic 30%, pelanggaran pemungutan suara 20% dan money politics 10%.
Pemilu 2009 akan dicatat dalam sejarah sebagai pemilu dengan administrasi pemilu yang buruk dan tingginya angka warga yang tidak memberikan suara. Rendahnya kualitas informasi dari KPU memberi kontribusi pada rendahnya partisipasi masyarakat. Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis mencatat angka golput mencapai 40%, sehingga hasil pemilu 2009 bisa jadi bukan mencerminkan kehendak rakyat yang sesungguhnya, atau memang demikian adanya. Hendaknya diingat ukuran kualitas pemilu tidak hanya diukur dari pelaksanannya yang aman, tetapi pada tingkat partisipasi pemilih, jumlah suara tidak sah yang dihasilkan, dan rasionalitas pemilih.
Oleh karena itu dapat dikatakan telah terjadi pelanggaran hak pilih nasional secara masif yang sebenarnya tidak harus terjadi apabila pemerintah dan penyelenggara pemilu memahami tugas dan kewajibannya secara benar. Pertanyaannya adalah mengapa hal itu terjadi?
Kekhawatiran sudah muncul sejak kehebohan pembentukan Tim Seleksi, rekrutmen dan proses seleksi anggota KPU 2007 yang lalu. Sistem seleksi anggota KPU tidak menggunakan tolak ukur yang transparan dan akuntabel, sehingga para pemerhati politik dan pemilu pada waktu itu mengatakan bahwa proses seleksi yang tidak berkualitas akan menghasilkan output yang tidak berkualitas pula. Demikianlah yang terjadi.
Tahapan Pelaksanaan Persiapan Pemilu Tidak Konsisten
Apabila mundur kebelakang rasa was-was itu mulai muncul ketika KPU memutuskan mengambil alih persoalan Pilkada Maluku Utara (Malut) dengan cara memanggil PPK Malut ke Jakarta untuk menghitung ulang rekapitulasi suara di KPU Pusat. Intervensi KPU telah membuat persoalan Malut berlarut-larut sehingga masih dirasakan dampaknya sampai hari ini oleh masyarakat Malut. Kekhawatiran bertambah ketika kemudian KPU mengubah jadwal pemungutan suara dari 5 April menjadi 9 April, yang kemudian diikuti oleh perubahan demi perubahan dalam tahapan persiapan pemilu yang puncaknya adalah kekrisuhan DPT yang tidak mampu diselesaikan sampai dengan hari pemungutan suara diselenggarakan. Berbagai masukan dari kalangan masyarakat demi perbaikan, nampaknya kurang direspon secara positif. Bandingkan misalnya dengan pemilu 2004 yang pada 11 Februari 2004, yakni 46 hari sebelum pemilu 5 April DPT sudah ditetapkan dan bersifat ajeg.
Idealnya pemilu 2009 lebih mudah disiapkan dan dilaksanakan karena antara lain: (1) KPU 2004 telah meninggalkan blue print dalam bentuk sistem kerja dan tata peraturan KPU dan Juklak/Juknis serta sekretariat jendral dan anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota yang relatif sudah terlatih, (2) sistem pemilu yang tidak jauh berbeda dengan 2004, dan (3) pemilih yang semakin matang dan terbiasa dengan pemilu sehingga tidak perlu mulai dari nol mendidik mereka.
Walau demikian, agaknya kekecewaan pada kualitas penyelenggaraan pemilu itu terobati dengan performance pemilih kita yang semakin matang. Selain memiliki kesadaran dan kesabaran cukup tinggi untuk memilih, pemilih kita juga relatif mampu mengendalikan diri, sehingga tidak menyalurkan kemarahan dengan cara destruktif. Kita patut berterimakasih kepada pemilih yang sudah berhasil menjaga pemilu berjalan secara relatif tertib dan damai.
Sudah pasti berbagai gugatan akan bermunculan terkait pelanggaran dan mungkin saja berbagai kecurangan. Surat edaran KPU mengenai surat suara yang tertukar antar dapil yang dianggap sebagai suara sah dan suaranya diberikan kepada parpol pasti rawan gugatan. Surat edaran itu merugikan para caleg sebab memperkecil kemungkinan caleg terpilih dengan suara terbanyak.
Solusi ke depan
Pasca pemilu legislatif 9 April dan menjelang pemilu presiden/wakil presiden mendatang, KPU harus mampu mengendalikan dan memastikan proses rekapitulasi penghitungan suara di tingkat PPK, Provinsi dan Kabupaten/Kota berjalan sesuai asas pemilu jurdil. Mahkamah Konstitusi harus siap menerima dan menyelesaikan berbagai gugatan terkait hasil pemilu. Adalah tugas MK untuk menyelesaikan dengan cepat dan akurat dan harus memenuhi asas keadilan sehingga dapat diterima penggugat.
Pada saat yang sama harus harus ada evaluasi mendasar terkait DPT. Evaluasi harus dilakukan mulai dari kinerja Direktorat Jendral Administrasi Kependudukan Depdagri yang bertanggung jawab menyediakan data penduduk untuk pemilu (DP4) serta KPU yang bertanggung jawab untuk up-dating data pemilih. Dengan demikian warga negara yang memang mempunyai hak memilih dapat menggunakan haknya pada pemilu presiden/wakil presiden, sehingga tidak terabaikan lagi seperti pada pemilu legislatif.
Ke depan, perlu dipertimbangan perbaikan kelembagaaan dengan meninjau ulang sistem rekrutmen anggota KPU pusat dan daerah supaya dapat menghasilkan KPU yang memiliki kapabilitas, independensi, integritas dan kewibawaan nasional. Sehingga mampu menjalankan perintah konstitusi dan UU secara benar, akuntabel dan demokratis. Prinsip utama penyelenggara pemilu di negara-negara demokratis seperti tercantum dalam kode etik KPU yaitu berlaku adil, fairness, non partisan dan imparsial atau memperlakukan semua peserta pemilu secara sama harus ditegakkan.
Memang tidak mudah melaksanakan pemilu di Negara sebesar dan sekompleks Indonesia. Sistem pemilunya adalah yang paling rumit di dunia dan pemilunya bersifat kolosal. Karena itu hanya orang-orang pilihan saja yang akan mampu melaksanakannya dengan baik.
Sindo, 11 April-2009
Ketua Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP-UI
Pemilu legislatif baru saja berlangsung kemarin dan warga masyarakat tetap antusias datang ke TPS untuk memberikan suaranya. Namun antusiasme itu tidak diiringi oleh kesiapan KPU sebagai penyelenggara pemilu yang bertugas memberikan pelayanan (service) kapada pemilih. KPU telah gagal memberi perlindungan terhadap hak pilih rakyat yang merupakan kedaulatan rakyat yang paling asasi. Melalui hak pilih itu warga Negara Republik Indonesia setiap lima tahun memberikan suaranya untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden. Sungguh ironis kesadaran warga masyarakat yang cukup baik itu tidak tersalurkan hanya karena kinerja penyelenggara pemilu yang kurang optimal.
Golput
Ribuan dan bahkan jutaan warga masyarakat Indonesia yang memiliki hak pilih terpaksa menjadi golput karena tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Mereka menjadi golput bukan keinginan mereka, namun oleh karena namanya tidak tercantum dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap). DPT kita bermasalah. Ada bayi/anak-anak di bawah umur, yang sudah meninggal, yang sudah pindah tempat tinggal, orang asing, TNI/Polri, tercantum dalam DPT. Namun sebaliknya mereka yang sudah terdaftar pada pemilu 2004 dan Pilkada-Pilkada 2005-2008 justru namanya hilang dari peredaran DPT.
Dua stasiun swasta secara terus menerus menayangkan beragam data yang menggambarkan pelaksanaan pemungutan suara yang umumya berjalan aman namun ditandai kekecewaan warga masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Seperti antara lain, pemilih yang tidak dapat pergi ke TPS karena tidak terdaftar, surat suara yang tertukar antar dapil seperti terjadi di Mojokerto, Ternate, Kebumen, Ponorogo, Gresik, Pinrang Sulsel, dll. Daerah-daerah tidak dapat melaksanakan pemungutan suara karena logistik surat suara belum tiba di TPS seperti di Yahukimo, Panian, NTT, dll, kericuhan di TPS karena warga marah memaksa masuk ke TPS, namun dilarang petugas karena namanya tidak terdapat dalam DPT.
Pelanggaran hak pilih
Berulang kali tertulis ribuan warga sampang Madura tidak terdaftar, ratusan warga di Mimika ngamuk karena tidak terdaftar, Manokwari ricuh karena mahasiswa tidak terdaftar, 900 warga Muara Bungo di Sumsel tidak mencotreng karena tidak terdaftar, ribuan masyarakat Betawi pendukung Mandra protes karena tidak terdaftar. Ratusan warga Papua di DIY yang punya formulir A5 dan yang tidak memilikinya mengamuk sehingga pada akhirnya KPU akan menggelar pemilu susulan. Demikian rendahnya kualitas penyelenggaraan sehingga Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat (JPPR) melaporkan telah terjadi pelanggaran DPT dalam pemungutan suara sebanyak 40%, pelanggaran logistic 30%, pelanggaran pemungutan suara 20% dan money politics 10%.
Pemilu 2009 akan dicatat dalam sejarah sebagai pemilu dengan administrasi pemilu yang buruk dan tingginya angka warga yang tidak memberikan suara. Rendahnya kualitas informasi dari KPU memberi kontribusi pada rendahnya partisipasi masyarakat. Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis mencatat angka golput mencapai 40%, sehingga hasil pemilu 2009 bisa jadi bukan mencerminkan kehendak rakyat yang sesungguhnya, atau memang demikian adanya. Hendaknya diingat ukuran kualitas pemilu tidak hanya diukur dari pelaksanannya yang aman, tetapi pada tingkat partisipasi pemilih, jumlah suara tidak sah yang dihasilkan, dan rasionalitas pemilih.
Oleh karena itu dapat dikatakan telah terjadi pelanggaran hak pilih nasional secara masif yang sebenarnya tidak harus terjadi apabila pemerintah dan penyelenggara pemilu memahami tugas dan kewajibannya secara benar. Pertanyaannya adalah mengapa hal itu terjadi?
Kekhawatiran sudah muncul sejak kehebohan pembentukan Tim Seleksi, rekrutmen dan proses seleksi anggota KPU 2007 yang lalu. Sistem seleksi anggota KPU tidak menggunakan tolak ukur yang transparan dan akuntabel, sehingga para pemerhati politik dan pemilu pada waktu itu mengatakan bahwa proses seleksi yang tidak berkualitas akan menghasilkan output yang tidak berkualitas pula. Demikianlah yang terjadi.
Tahapan Pelaksanaan Persiapan Pemilu Tidak Konsisten
Apabila mundur kebelakang rasa was-was itu mulai muncul ketika KPU memutuskan mengambil alih persoalan Pilkada Maluku Utara (Malut) dengan cara memanggil PPK Malut ke Jakarta untuk menghitung ulang rekapitulasi suara di KPU Pusat. Intervensi KPU telah membuat persoalan Malut berlarut-larut sehingga masih dirasakan dampaknya sampai hari ini oleh masyarakat Malut. Kekhawatiran bertambah ketika kemudian KPU mengubah jadwal pemungutan suara dari 5 April menjadi 9 April, yang kemudian diikuti oleh perubahan demi perubahan dalam tahapan persiapan pemilu yang puncaknya adalah kekrisuhan DPT yang tidak mampu diselesaikan sampai dengan hari pemungutan suara diselenggarakan. Berbagai masukan dari kalangan masyarakat demi perbaikan, nampaknya kurang direspon secara positif. Bandingkan misalnya dengan pemilu 2004 yang pada 11 Februari 2004, yakni 46 hari sebelum pemilu 5 April DPT sudah ditetapkan dan bersifat ajeg.
Idealnya pemilu 2009 lebih mudah disiapkan dan dilaksanakan karena antara lain: (1) KPU 2004 telah meninggalkan blue print dalam bentuk sistem kerja dan tata peraturan KPU dan Juklak/Juknis serta sekretariat jendral dan anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota yang relatif sudah terlatih, (2) sistem pemilu yang tidak jauh berbeda dengan 2004, dan (3) pemilih yang semakin matang dan terbiasa dengan pemilu sehingga tidak perlu mulai dari nol mendidik mereka.
Walau demikian, agaknya kekecewaan pada kualitas penyelenggaraan pemilu itu terobati dengan performance pemilih kita yang semakin matang. Selain memiliki kesadaran dan kesabaran cukup tinggi untuk memilih, pemilih kita juga relatif mampu mengendalikan diri, sehingga tidak menyalurkan kemarahan dengan cara destruktif. Kita patut berterimakasih kepada pemilih yang sudah berhasil menjaga pemilu berjalan secara relatif tertib dan damai.
Sudah pasti berbagai gugatan akan bermunculan terkait pelanggaran dan mungkin saja berbagai kecurangan. Surat edaran KPU mengenai surat suara yang tertukar antar dapil yang dianggap sebagai suara sah dan suaranya diberikan kepada parpol pasti rawan gugatan. Surat edaran itu merugikan para caleg sebab memperkecil kemungkinan caleg terpilih dengan suara terbanyak.
Solusi ke depan
Pasca pemilu legislatif 9 April dan menjelang pemilu presiden/wakil presiden mendatang, KPU harus mampu mengendalikan dan memastikan proses rekapitulasi penghitungan suara di tingkat PPK, Provinsi dan Kabupaten/Kota berjalan sesuai asas pemilu jurdil. Mahkamah Konstitusi harus siap menerima dan menyelesaikan berbagai gugatan terkait hasil pemilu. Adalah tugas MK untuk menyelesaikan dengan cepat dan akurat dan harus memenuhi asas keadilan sehingga dapat diterima penggugat.
Pada saat yang sama harus harus ada evaluasi mendasar terkait DPT. Evaluasi harus dilakukan mulai dari kinerja Direktorat Jendral Administrasi Kependudukan Depdagri yang bertanggung jawab menyediakan data penduduk untuk pemilu (DP4) serta KPU yang bertanggung jawab untuk up-dating data pemilih. Dengan demikian warga negara yang memang mempunyai hak memilih dapat menggunakan haknya pada pemilu presiden/wakil presiden, sehingga tidak terabaikan lagi seperti pada pemilu legislatif.
Ke depan, perlu dipertimbangan perbaikan kelembagaaan dengan meninjau ulang sistem rekrutmen anggota KPU pusat dan daerah supaya dapat menghasilkan KPU yang memiliki kapabilitas, independensi, integritas dan kewibawaan nasional. Sehingga mampu menjalankan perintah konstitusi dan UU secara benar, akuntabel dan demokratis. Prinsip utama penyelenggara pemilu di negara-negara demokratis seperti tercantum dalam kode etik KPU yaitu berlaku adil, fairness, non partisan dan imparsial atau memperlakukan semua peserta pemilu secara sama harus ditegakkan.
Memang tidak mudah melaksanakan pemilu di Negara sebesar dan sekompleks Indonesia. Sistem pemilunya adalah yang paling rumit di dunia dan pemilunya bersifat kolosal. Karena itu hanya orang-orang pilihan saja yang akan mampu melaksanakannya dengan baik.
Sindo, 11 April-2009
Langganan:
Postingan (Atom)