Oleh: Valina Singka Subekti
Ketua Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP-UI
Pemilu legislatif baru saja berlangsung kemarin dan warga masyarakat tetap antusias datang ke TPS untuk memberikan suaranya. Namun antusiasme itu tidak diiringi oleh kesiapan KPU sebagai penyelenggara pemilu yang bertugas memberikan pelayanan (service) kapada pemilih. KPU telah gagal memberi perlindungan terhadap hak pilih rakyat yang merupakan kedaulatan rakyat yang paling asasi. Melalui hak pilih itu warga Negara Republik Indonesia setiap lima tahun memberikan suaranya untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden. Sungguh ironis kesadaran warga masyarakat yang cukup baik itu tidak tersalurkan hanya karena kinerja penyelenggara pemilu yang kurang optimal.
Golput
Ribuan dan bahkan jutaan warga masyarakat Indonesia yang memiliki hak pilih terpaksa menjadi golput karena tidak dapat menggunakan hak pilihnya. Mereka menjadi golput bukan keinginan mereka, namun oleh karena namanya tidak tercantum dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap). DPT kita bermasalah. Ada bayi/anak-anak di bawah umur, yang sudah meninggal, yang sudah pindah tempat tinggal, orang asing, TNI/Polri, tercantum dalam DPT. Namun sebaliknya mereka yang sudah terdaftar pada pemilu 2004 dan Pilkada-Pilkada 2005-2008 justru namanya hilang dari peredaran DPT.
Dua stasiun swasta secara terus menerus menayangkan beragam data yang menggambarkan pelaksanaan pemungutan suara yang umumya berjalan aman namun ditandai kekecewaan warga masyarakat di berbagai wilayah Indonesia. Seperti antara lain, pemilih yang tidak dapat pergi ke TPS karena tidak terdaftar, surat suara yang tertukar antar dapil seperti terjadi di Mojokerto, Ternate, Kebumen, Ponorogo, Gresik, Pinrang Sulsel, dll. Daerah-daerah tidak dapat melaksanakan pemungutan suara karena logistik surat suara belum tiba di TPS seperti di Yahukimo, Panian, NTT, dll, kericuhan di TPS karena warga marah memaksa masuk ke TPS, namun dilarang petugas karena namanya tidak terdapat dalam DPT.
Pelanggaran hak pilih
Berulang kali tertulis ribuan warga sampang Madura tidak terdaftar, ratusan warga di Mimika ngamuk karena tidak terdaftar, Manokwari ricuh karena mahasiswa tidak terdaftar, 900 warga Muara Bungo di Sumsel tidak mencotreng karena tidak terdaftar, ribuan masyarakat Betawi pendukung Mandra protes karena tidak terdaftar. Ratusan warga Papua di DIY yang punya formulir A5 dan yang tidak memilikinya mengamuk sehingga pada akhirnya KPU akan menggelar pemilu susulan. Demikian rendahnya kualitas penyelenggaraan sehingga Jaringan Pendidikan Pemilih Rakyat (JPPR) melaporkan telah terjadi pelanggaran DPT dalam pemungutan suara sebanyak 40%, pelanggaran logistic 30%, pelanggaran pemungutan suara 20% dan money politics 10%.
Pemilu 2009 akan dicatat dalam sejarah sebagai pemilu dengan administrasi pemilu yang buruk dan tingginya angka warga yang tidak memberikan suara. Rendahnya kualitas informasi dari KPU memberi kontribusi pada rendahnya partisipasi masyarakat. Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis mencatat angka golput mencapai 40%, sehingga hasil pemilu 2009 bisa jadi bukan mencerminkan kehendak rakyat yang sesungguhnya, atau memang demikian adanya. Hendaknya diingat ukuran kualitas pemilu tidak hanya diukur dari pelaksanannya yang aman, tetapi pada tingkat partisipasi pemilih, jumlah suara tidak sah yang dihasilkan, dan rasionalitas pemilih.
Oleh karena itu dapat dikatakan telah terjadi pelanggaran hak pilih nasional secara masif yang sebenarnya tidak harus terjadi apabila pemerintah dan penyelenggara pemilu memahami tugas dan kewajibannya secara benar. Pertanyaannya adalah mengapa hal itu terjadi?
Kekhawatiran sudah muncul sejak kehebohan pembentukan Tim Seleksi, rekrutmen dan proses seleksi anggota KPU 2007 yang lalu. Sistem seleksi anggota KPU tidak menggunakan tolak ukur yang transparan dan akuntabel, sehingga para pemerhati politik dan pemilu pada waktu itu mengatakan bahwa proses seleksi yang tidak berkualitas akan menghasilkan output yang tidak berkualitas pula. Demikianlah yang terjadi.
Tahapan Pelaksanaan Persiapan Pemilu Tidak Konsisten
Apabila mundur kebelakang rasa was-was itu mulai muncul ketika KPU memutuskan mengambil alih persoalan Pilkada Maluku Utara (Malut) dengan cara memanggil PPK Malut ke Jakarta untuk menghitung ulang rekapitulasi suara di KPU Pusat. Intervensi KPU telah membuat persoalan Malut berlarut-larut sehingga masih dirasakan dampaknya sampai hari ini oleh masyarakat Malut. Kekhawatiran bertambah ketika kemudian KPU mengubah jadwal pemungutan suara dari 5 April menjadi 9 April, yang kemudian diikuti oleh perubahan demi perubahan dalam tahapan persiapan pemilu yang puncaknya adalah kekrisuhan DPT yang tidak mampu diselesaikan sampai dengan hari pemungutan suara diselenggarakan. Berbagai masukan dari kalangan masyarakat demi perbaikan, nampaknya kurang direspon secara positif. Bandingkan misalnya dengan pemilu 2004 yang pada 11 Februari 2004, yakni 46 hari sebelum pemilu 5 April DPT sudah ditetapkan dan bersifat ajeg.
Idealnya pemilu 2009 lebih mudah disiapkan dan dilaksanakan karena antara lain: (1) KPU 2004 telah meninggalkan blue print dalam bentuk sistem kerja dan tata peraturan KPU dan Juklak/Juknis serta sekretariat jendral dan anggota KPU Provinsi dan Kabupaten/Kota yang relatif sudah terlatih, (2) sistem pemilu yang tidak jauh berbeda dengan 2004, dan (3) pemilih yang semakin matang dan terbiasa dengan pemilu sehingga tidak perlu mulai dari nol mendidik mereka.
Walau demikian, agaknya kekecewaan pada kualitas penyelenggaraan pemilu itu terobati dengan performance pemilih kita yang semakin matang. Selain memiliki kesadaran dan kesabaran cukup tinggi untuk memilih, pemilih kita juga relatif mampu mengendalikan diri, sehingga tidak menyalurkan kemarahan dengan cara destruktif. Kita patut berterimakasih kepada pemilih yang sudah berhasil menjaga pemilu berjalan secara relatif tertib dan damai.
Sudah pasti berbagai gugatan akan bermunculan terkait pelanggaran dan mungkin saja berbagai kecurangan. Surat edaran KPU mengenai surat suara yang tertukar antar dapil yang dianggap sebagai suara sah dan suaranya diberikan kepada parpol pasti rawan gugatan. Surat edaran itu merugikan para caleg sebab memperkecil kemungkinan caleg terpilih dengan suara terbanyak.
Solusi ke depan
Pasca pemilu legislatif 9 April dan menjelang pemilu presiden/wakil presiden mendatang, KPU harus mampu mengendalikan dan memastikan proses rekapitulasi penghitungan suara di tingkat PPK, Provinsi dan Kabupaten/Kota berjalan sesuai asas pemilu jurdil. Mahkamah Konstitusi harus siap menerima dan menyelesaikan berbagai gugatan terkait hasil pemilu. Adalah tugas MK untuk menyelesaikan dengan cepat dan akurat dan harus memenuhi asas keadilan sehingga dapat diterima penggugat.
Pada saat yang sama harus harus ada evaluasi mendasar terkait DPT. Evaluasi harus dilakukan mulai dari kinerja Direktorat Jendral Administrasi Kependudukan Depdagri yang bertanggung jawab menyediakan data penduduk untuk pemilu (DP4) serta KPU yang bertanggung jawab untuk up-dating data pemilih. Dengan demikian warga negara yang memang mempunyai hak memilih dapat menggunakan haknya pada pemilu presiden/wakil presiden, sehingga tidak terabaikan lagi seperti pada pemilu legislatif.
Ke depan, perlu dipertimbangan perbaikan kelembagaaan dengan meninjau ulang sistem rekrutmen anggota KPU pusat dan daerah supaya dapat menghasilkan KPU yang memiliki kapabilitas, independensi, integritas dan kewibawaan nasional. Sehingga mampu menjalankan perintah konstitusi dan UU secara benar, akuntabel dan demokratis. Prinsip utama penyelenggara pemilu di negara-negara demokratis seperti tercantum dalam kode etik KPU yaitu berlaku adil, fairness, non partisan dan imparsial atau memperlakukan semua peserta pemilu secara sama harus ditegakkan.
Memang tidak mudah melaksanakan pemilu di Negara sebesar dan sekompleks Indonesia. Sistem pemilunya adalah yang paling rumit di dunia dan pemilunya bersifat kolosal. Karena itu hanya orang-orang pilihan saja yang akan mampu melaksanakannya dengan baik.
Sindo, 11 April-2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar