Selasa, 14 April 2009

Seminar Pembahasan dan Rekomendasi Amandemen

Seminar Pembahasan dan Rekomendasi Amandemen
Diselenggarakan oleh Dewan Pertimbangan Presiden, 18 Maret 2009 di Jakarta.
Dr. Valina Singka Subekti, MA (Pembahas)
Ketua Program Pascasarjana Ilmu Politik FISIP-Universitas Indonesia.

Pokok pikiran dan rekomendasai Amandemen UUD 1945 tahap lima disusun oleh DPD, Komisi Konstitusi, Forum Rektor, Komisi Hukum Nasional dan disampaikan dalam seminar yang diselenggarakan oleh Dewan Pertimbangan Presiden sebagai masukan kepada Presiden dalam rangka amandemen selanjutnya.
Mengapa lembaga dan kelompok-kelompok itu mengajukan usulan amandemen, apa urgensinya dan pokok pikiran apa yang sampaikan?
Salah satu yang menjadi perhatian saya adalah draft yang disusun oleh Komisi Konstitusi (KK). Saya menghargai usulan KK perlunya amandemen selanjutnya yang berangkat dengan cara pandang yang tidak menyalahkan atau memburukkan hasil perubahan sebelumnya, tetapi memberi apresiasi dan mendukung terhadap hasil perubahan. Hal ini menurut saya penting agar bangsa ini tidak berputar pada kebiasaan untuk menyalahkan sesuatu yang sudah ada sebelumnya dalam rangka membuat sesuatu yang baru. Menurut saya perjalanan bangsa ini masih sangat panjang dan konstitusi itu akan terus berkembang dinamis sesuai kebutuhan masyarakat dan jamannya. Ia adalah rangkaian proses yang tiada berkesudahan melalui thesis, antithesis dan sinthesa untuk mencapai hasil yang terbaik. Perlu dicatat disini bahwa aspirasi Ibu dan Bapak sekalian untuk melakukan amandemen tidak akan mungkin dilakukan apabila tidak ada Perubahan Pertama sampai Perubahan Keempat UUD 1945 yang dilakukan MPR selama 1999-2002. Ini adalah bagian dari proses sejarah bangsa Indonesia yang harus diterima sebagai satu keniscayaan.
Menurut KK Perubahan UUD 1945 yang dilakukan MPR antara 1999-2002 telah berhasil mendesakralisasi UUD 1945 dan menjadikannya sebagai living constitution, membuatnya menjadi konsitusi yang di dalamnya mengandung prinsip-prinsip konstitusionalisme yang antara lain dicerminkan oleh kepastian bahwa keadulatan rakyat dilaksanakan oleh rakyat sesuai ketentuan UUD dan Indonesia adalah Negara berdasar hukum. Ini adalah sesuatu yang penting dan mendasar sebab dengan prinsip konstitusionalisme maka konstitusi kita dapat digolongkan sebagai konstitusi yang modern dan dapat menjadi landasan teerbentuknya sistem politik yang demokratis. Komisi Konstitusi juga berpendapat bahwa hasil perubahan UUD 1945 telah memberi kontribusi positif terhadap upaya perbaikan sistem ketatanegaraan Indonesia dengan cara membagi kekuasaan secara seimbang kepada berbagai lembaga Negara dengan prinsip checks and balances.
Di samping itu Komisi Konstitusi memberi beberapa catatan atas hasil perubahan tersebut terutama dua hal terpenting mengenai (1) disain sistem pemerintahan presidensial, dan (2) disain sistem parlemen Indonesia (DPR dan DPD).
Komisi Konstitusi berpandangan bahwa hasil perubahan UUD 1945 telah menganut sistem pemerintahan presidensial tetapi juga masih mengandung unsure sistem pemerintahan parlementer. Beberapa pasal yang menjadi catatan KK adalah Pasal 11 dan Pasal 20, dan seterusnya.
Saya berpandangan bahwa tidak ada praktek sistem presidensial yang persis sama di dunia ini yang tentu prakteknya disesuaikan dengan dinamika proses kesejarahan dan dinamika politik bangsa tersebut dan dikaitkan dengan kebutuhan utama bangsa tersebut yaitu untuk menciptakan pemerintahan yang stabil sehingga dapat membangun perekonomian untuk kesejahteraan rakyat. Pembukaan UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa tujuan kemerdekaan adalah untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umu, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdmaian abadi dan keadilan social. Itulah sebabnya MPR bersepakat untuk menegaskan sistem pemerintahan presidensial dalam UUD 1945 hasil perubahan, yaitu agar dapat terbentuk pemerintahan yang mapan dan kuat sehingga dapat bekerja secara efektif membangun Negara sebesar dan sekompleks Indonesia. Hal ini tidak lain agar tujuan kemerdekaan Indonesia seperti yang dituliskan dalam Pembukaaan UUD 1945 dapat menjadi kenyataan.
Salah satu hasil paling penting adalah mengenai konsep keadulatan rakyat, yang tadinya kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh MPR maka sekarang kedaulatan rakyat dilaksanakan menurut UUD. Ini adalah perubahan sangat mendasar dan telah merombak keseluruhan logika dari penyusunan kembali distribution on powers dari cabang-cabang kekuasaan negara. Kekuasaan dibagi secara merata di antara lembaga-lembaga Negara dengan menganut prinsip separation of powers. MPR tidak lagi lembaga tertinggi Negara dan MPT terdiri dari anggota DPR dan DPD yang seluruhnya dipilih melalui pemilihan umum. Kedudukan MPR setara dengan lembaga-lembaga Negara lainnya. Kemudian kekuasaan legislasi dikembalikan kepada DPR, namun UUD 1945 memerintahkan bahwa setiap RUU harus dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama. UUD 1945 juga mengantisipasi kemungkinan terjadinya keadaan yang sangat menganggu akibat diundangngkannya sebuah UU baru sehingga memberi kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan Perpu sebagai penggantu UU. Demikian pula Presiden dipilih langsung oleh rakyat, dibatasi masa jabatannya (fixed term) dua kali masa jabatan dengan pengaturan mekanisme impeachment yang sulit. Dalam hal ini Presiden tidak bisa dijatuhkan oleh DPR karena alasan yang bersifat politis atau sebaliknya Presiden juga tidak bisa membubarkan DPR. Demikian pula kekuasaan kehakiman menjadi kekuasaan yang independent, sementara dibentuk MK dengan 4 kewenangan khusus yaitu melakukan uji konstitusionalitas UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubarab partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilu. MK dalam hal ini antara lain berfungsi sebagai the guardian of the constitution.
Demikian pula mengenai DPD. Lembaga ini memang dikonstruksikan dengan kewenangan legislasi yang terbatas dengan berbagai pertimbangan antara lain untuk memperkuat NKRI dan menghindari kemungkinan semakin sulitnya proses legislasi karena fragmentasi politik yang tinggi, sebab kita menganut sistem multi partai.[1]
Saya berpendapat sebelum melakukan amandemen tahap selanjutnya, yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah membenahi praktek atau implementasi UUD 1945 hasil perubahan. Apakah perintah konstitusi telah dilaksanakan sesuai dengan yang dimaksudkan?. Hal ini sangat penting agar dalam melakukan penambahan atau penyempurnaan --apapun nantinya—telah melewati satu proses implementasi yang benar sehingga evaluasi yang dilakukan dapat rasional.
Ada kemungkinan kesan sistem presidensial dengan nuansa parlementer lebih banyak diakibatkan oleh praktek yang berlangsung terutama dalam relasi antara Presiden dengan DPR. Komisi Konstitusi menyimpulkan adanya nuansa parlementer karena Pasal 20 mengatakan bahwa Presiden bersama dengan DPR dapat mengajukan RUU dan RUU dibahas bersama dengan Presiden. Saya ingin memberi catatan bahwa separation of powers itu tidaklah dilihat secara hitam putih. Ketentuan Pasal 20 sebenarnya adalah praktek yang sudah berlangsung di Indonesia sejak lama dan tidak pernah menimbulkan masalah. Hak veto Presiden semangatnya sebenarnya inheren ada dalam ketentuan Pasal 20, sebab sebuah RUU menjadi UU haruslah persetujuan bersama DPR dan Presiden. Apabila salah satu tidak sepakat maka RUU itu gagal menjadi UU. Sementara dalam praktek di Amerika Serikat, konstitusinya tidak memberi kewenangan kepada Presiden untuk mengajukan RUU, sehingga Presiden diberi hak veto sebagai upaya penyeimbang (checks and balances).
Ada beberapa ketatanegaraan yang kurang sesuai dengan UUD 1945 hasil perubahan. Antara lain, adalah ketentuan dalam UU No. 2 Tahun 2002 Tentang kepolisian Negara yang mengatur bahwa untuk mengangkat Kapolri, Presiden memerlukan persetujuan DPR setelah sebelumnya mengajukan calon kapolri kepada DPR. Hal ini sebenarnya DPR telah terlalu jauh memasuki wilayah kekuasaan eksekutif. Penentuan Kapolri tidaklah memerlukan persetujuan DPR sebab adalah institusi yang merupakan bagian eksekutif. Demikian pula ketentuan mengenai pengangkatan Panglima TNI, menurut ketentuan UU No. 34 Tentang TNI, Panglima TNI diangkat Presiden setelah mendapat persetujuan DPR. Padahal menurut UUD 1945 hasil perubahan, Predien memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan darat, Angkatan laut, dan Angkatan Udara. Demikian pula ketentuan UU No. 3 Tahun 2004 Tentang BI yang mengatur bahwa pengangkatan Gubernur BI haruslah dengan persetujuan DPR, sementara tidak ada ketentuan dalam konstitusi yang mengatakan demikian. Khusus mengenai Duta Besar Indonesia maupun Negara sahabat UUD memerintakan Presiden untuk meminta pertimbangan, bukan persetujaun DPR. Mekanisme fit and proper test mestinya ditinjau kembali. Mekanisme hearing seperti di Amerika Serikat untuk jabatan tertentu seperti Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan dapat dipertimbangkan.[2]
Demikian pula mengenai DPD yang kewenangannya dipangkas oleh UU Susduk.[3] UU Susduk dibuat tidak dalam semangat memberdayakan DPD, tetapi ‘memperdayakan’ DPD. Oleh karena itu UU Susduk juga harus diperbaiki untuk menempatkan DPD dalam posisi seperti yang dimaksudkan konstitusi. UUD 1945 hasil perubahan memang memberikan kewenangan legislasi terbatas kepada DPD. Tetapi apabila digunakan secara optimal dan kreatif oleh DPD, dapat secara efektif menyalurkan aspirasi daerah dalam proses pembahasan RUU. DPD dapat ‘ikut membahas’, namun tidak turut serta dalam penetapan. Artinya, sebenarnya DPD dapat duduk bersama sejajar dengan DPR dalam proses pembahasan RUU pada tingkat I yang dimulai dengan pembentukan Pansus (Panitia Khusus). DPR-DPD-Pemerintah merupakan tripartiat yang duduk bersama pada pembahasan tingkat I RUU yang terkait dengan kepentingan daerah. Praktek seperti yang dimasukan oleh konstitusi ini selama ini (DPD periode 2004-2009) belum dilaksanakan.
Sudah seharusnya perintah konstitusi dilaksanakan karena perintah konstitusi itu bersifat imperative. Berbagai peraturan perundangan dan praktek legislative atau praktek relasi antara eksekutif dan legislative hendaknya disesuaikan seperti yang dimaksudkan oleh UUD 1945 hasil Perubahan Pertama sampai Perubahan Keempat. .

[1] Perdebatan di Panitia Ad Hoc I BP MPR (1999-2002) mengenai seberapa jauh kewenangan legislasi yang akan diberikan konstitusi kepada DPD dapat dilihat dalam Valina Singka Subekti. ‘Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan dan Pemikrian dalam Proses Perubahan UUD 1945’, Jakarta: Rajagrafindo, 2008.
[2] Menganai praktek yang eksesif ini dapat dilihat dalam makalah Jakob Tobing, “Refleksi Atas Penyelenggaraan Sistem Pemerintahan Menurut UUD 1945 Setelah Perubahan”, disampaikan dalam Diskusi Tokoh, Kerjasama Forum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta, 17 Desember 2008.
[3] Lihat makalahValina Singka Subekti, “Sistem Perwakilan di Indonesia”, disampaikan dalam Seminar mengenai Amandemen UUD 1945 yang diselenggarakan Komisi Hukum Nasional, Jakarta, Agustus 2008.

Tidak ada komentar: