Rabu, 22 Oktober 2008

SYARIKAT ISLAM atau MASYUMI

SYARIKAT ISLAM atau MASYUMI

Himbauan kepada para pemimpin dan ummat Islam Indonesia untuk merenungkan, memikirkan dan meluruskan sejarah Partai Islam sebagai landasan mewujudkan persatuan dalam ummat Islam dibidang politik

Terbentuknya Partai Politik Islam Masyumi sesungguhnya adalah merupakan suatu kesalahan karena Masyumi itu didirikan sebagai Majelis Permusyawatan Para Ulama Indonesia dan kolompok / organisasi Islam yang ada pada waktu itu untuk tujuan mendirikan majelis imamah dan bukan untuk menjadi partai politik. Idenya sebagai kelanjutan dari MIAI (Al Majlisul Islamil A’la Indonesia) yang didirikan tahun 1937 di Surabaya untuk menyelesaikan perbedaan dan perselisihan paham dikalangana ummat islam.
Hal ini adalah merupakan suatu kealpaan dan kelengahan tokoh PSII yang tidak menyadari bahwa PSII sedang dalam keadaan uzur (tidak bubar)
Para tokoh PSII seharusnya mendeklarasikan lebih dahulu aktifnya kembali PSII sebagai partai politik Islam dan mengajak para pemimpin Islam itu menggunakan PSII sebagai satu-satunya partai politik Islam dan mencegah berdirinya Masyumi sebagai partai politik Islam karena tindakan tersebut dapat diibaratkan mendirikan sebuah mesjid baru disamping mesjid yang sudah ada dalam sebuah lingkungan. Hukumnya adalah membuat firkah yang tidak sesuai dengan ketentuan Allah dalam Al Qur’an surat Ali Imran (103).


Lahirnya Partai Syarikat Islam Inodesia (PSII)


Bahwa dengan ketentuan dan izin Allah, Partai Syarikat Islam Indonesia atau PSII sebagai sebuah organisasi politik dan kemasyarakatan yang pertama di Indonesia, didahului oleh kelahiran Sarekat Dagang Islam (SDI) pada tanggal 16 Oktober 1905 oleh Haji Samanhudi di Surakarta (Solo). Lahir dizaman bangsa Indonesia berada dibawah kekuasaan penjajah kaum kolonial Belanda yang telah menguras kekayaan dan menjadikan bangsa Indonesia sebagai hamba sahaya dan budak mereka selama lebih dari tiga abad.
Untuk meluaskan gerakan dan memenuhi aspirasi ummat Islam yang berkembang waktu itu, setelah para pemimpin SDI mengadakan perhubungan dengan HOS Tjokroaminoto maka pada tahun 1912 dikukuhkanlah nama Syarikat Islam sebagai badan pergerakan, ditetapkan Anggaran Dasarnya, kemudian tanggal 14 September 1912 dimintakan pengesahan Akte Notaris Pendiriannya (Recht Persoon) dari pemerintahan Kolonial Belanda. Setelah itu SI menjadi Partai Syarikat Islam Hindia Timur (PSIHT) melalui Kongres (Majelis Tahkim) tahun 1927 di Madiun, lalu menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) melalui Majelis Tahkim di Batavia tahun 1930.
PSII sebagai peletak nilai dasar sejarah dan pelopor dalam barisan organisasi politik pada zaman pra kemerdekaan telah memiliki nilai historis yang amat berarti dan telah melakukan peranan yang amat penting dalam kontek peletakan nilai dasar sejarah pergerakan bangsa Indonesia dan telah melahirkan proses pembangunan semangat juang yang tinggi untuk melepaskan bangsa dari cengkeraman kaum yang menjajah dan memperbudak bangsa Indonesia.Partai Syarikat Islam Indonesia dizaman penjajahan adalah organisasi yang paling ditakuti oleh pemerintah kolonial Belanda karena sepak terjangnya yang nyata nyata akan membawa bangsa Indonesia kepada kemerdekaan sebagai bangsa, dan kemerdekaan yang lebih luas yang disebut kemerdekaan sejati, yaitu kemerdekaan yang bebas dari segala macam perhambaan dan penindasan serta penghinaan diri dan dari segala ketakutan dalam segala aspek kehidupan dan pergaulan karena kaum Syarikat Islam hanya akan menghambakan diri kepada Allah SWT semata-mata, tiada kepada yang lainnya. PSII akan menwujudkan persamaan derajat bangsa Indonesia dengan bangsa bangsa lainnya di dunia yang dilandasi etika dan moral sesuai dengan ajaran Islam.

Persatuan dalam Ummat Islam adalah kebutuhan dan perintah Allah


Dengan kesadaran akan perlunya ada persatuan dalam ummat Islam dalam bidang politik untuk dapat terhimpunnya kekuatan supaya dapat menjalankan Islam dengan sepenuh-penuhnya asas dan seluas-luasnya syari’at, sehingga akan memerdekakan bangsa Indonesia dari penjajahan kaum kolonial dan dari segala macam bentuk perbudakan dan perhambaan, maka Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) menetapkan: “PERSATUAN DALAM UMMAT ISLAM” sebagai landasan utama dalam program asasnya, yang lengkapnya berbunyi: “Kaum Partai Syarikat Islam Indonesia percaya bahwa untuk menjadikan Ummat Islam yang bersatu, lebih dahulu di dalam seluruh Indonesia mesti dibangunkan suatu kaum (Partai) yang tidak berpecah pecah atau berbahagi-bahagi sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala dalam Qur’an suart Ali ‘Imram ayat ke 103:
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, (QS:Ali Imran:103).
Kemudian pada surat Ali 'Imran ayat ke 105 Allah berfirman:
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.
Kemudian Allah berfirman lagi dalam surat Al Al Anfal ayat 73:
Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu (keharusan adanya persaudaraan yang teguh antara kaum muskimin), niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.
Sudah sangat jelas sekali dari keterangan diatas bahwa Allah memerintahkan dan mewajibkan kepada ummat Islam untuk bersatu, tidak bercerai berai dan membangun kerja sama dengan senantiasa menggugah serta menggerakkan hati nurani, akal dan budi untuk menghimpun kearifan demi tercapai dan terpeliharanya islam dalam wujud kemerdekaan, tegaknya keadilan, tercipta dan terpeliharanya perdamaian, adanya kemak-muran dan kesejahteraan dalam keridhaan dan ampunan Allah SWT.
Persatuan yang demikian itulah dibangunkan oleh kaum Partai Syarikat Islam Indonesia yang didalam persatuannya itu menjadi sebagian pula dalam Persatuan Ummat Islam se dunia.
Tokoh-tokoh pendahulu PSII telah terlibat dalam berbagai peristiwa penting proses perjuangan dan peletakan sendi dasar sistem kehidupan bangsa Indonesia, seperti Sumpah Pemuda, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Piagam Jakarta, penyusunan Undang-Undang Dasar 1945, peristiwa 10 Nopember 1945 di Surabaya, serta dalam cikal bakal dan pembangunan Angkatan Perang Republik Indonesia dan berbagai kegiatan politik setelah kemerdekaan Indonesia.


Uzur tidak berarti bubar


Pada zaman penjajahan facicme Jepang (tahun 1942) seluruh kegiatan politik PSII dinyatakan uzur karena tekanan yang kuat dan pelarangan semua kegiatan politik oleh Jepang.
Pernyataan uzur dalam PSII tidaklah berarti PSII membubarkan diri atau bubar, akan tetapi menghentikan sementara kegiatannya karena adanya suatu hal luar biasa yang tidak memungkinkan dilaksanakannya kegiatan organisasi partai secara formil, kemudian jika keadaan telah memungkinkan maka PSII akan menjalankan kembali aktivitasnya sebagai partai politik. Hal ini dinyatakan dalan Anggaran Dasar PSII, bahwa: “Sekalian anggota Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) haruslah berkeyakinan dan beri’tiqad, bahwa Partai itu tidak dapat bubar atau dibubarkan. Adapun kalau sekiranya ada udzur baginya, hendaklah dikembalikan kepada firman Allah dalam Al Qur’an surat At Taghabun ayat 16: “Fattaqullaha mastatha’tum”, (Takutlah kamu sekalian kepada Allah dengan sekuat kuatmu).
Akan tetapi, meskipun PSII dalam keadaan uzur, para pemimpin dan kader PSII tetap melakukan berbagai kegiatan baik secara diam diam dibawah tanah maupun kegiatan formil dalam pemerintahan Jepang. Mereka telah turut berperan mengantarkan bangsa Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan 17 Agustur 1945.

Tokoh Tokoh PSII yang terlibat dalam sejarah perjuangan kemedekaan


Apabila kita melihat kebelakang sejarah bangsa Indonesia, tidak sedikit tokoh-tokoh Syarikat Islam telah terukir namanya dan tidak dapat dihapus dalam sejarah pergerakan kemerdekaan bangsa ini, antara lain K.H. Samanhudi, HOS Cokroaminoto, H.Agus Salim, Abdul Muis, Dr.Sukiman, Abikusno Tjokrosuyoso, Mr.Muh. Roem, A.M.Sangadji dan banyak lagi yang tersebar diseluruh daerah Indonesia sebagai suhada. Presiden R.I. ke I Ir.Sukarno (almarhum) yang mendapat gemblengan dari tokoh Syarikat Islam berkata dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams halaman 52 tentang HOS Tjokroaminoto: “Seorang tokoh yang mempunyai daya cipta dan cita-cita tinggi, seorang pejuang yang mencintai tanah tumpah darahnya. Pak Tjokro adalah pujaanku. Aku muridnya. Secara sadar atau tidak sadar dia menggemblengku”. Selain itu KH.Achmad Dahlan yang kemudian dikenal sebagai tokoh dan Pimpinan Muhammadiyah, sesungguhnya adalah tokoh sayap pendidikan Syarikat Islam, yang dipisahkan dari organisasi Syarikat Islam untuk kepentingan mempertahankan eksistensi kegiatan pendidikan ini ditengah-tengah pemerintahan kolonial Belanda, karena Syarikat Islam pada tahun 1922 melancarkan politik non kooperatif terhadap pemerintah Hindia Belanda.

Menghindari perselisihan karena soal furuk dan khilafiah


Pada tahun 1922 atas inisiatif orang-orang Syarikat Islam dilangsungkan Kongres Al Islam pertama bertempat di Cirebon yang dihadiri oleh para pemuka dari berbagai organisasi Islam dan para ulama seluruh Indonesia. Dengan adanya Kongres tersebut telah dicegah menjalarnya perselisihan dan pertikaian dalam soal agama Islam, terutama sekali mengenai soal-soal furuk dan dengan itu persatuan kaum muslimin dapat lebih dipererat dari waktu yang sudah-sudah. Selain keputuan dalam bidang pendidikan, Kongres tersebut memutuskan mendirikan Badan Komite Al Islam Pusat, yang pimpinannya diserahkan kepada Saudara Suroso tokoh Syarikat Islam dari Garut. Masyumi sebelum menjadi Partai Politik dan kesalah fahaman yang terjadi setelah Masyumi menjadi Partai.


Pada awal kemerdekaan setelah penjajahan Jepang dibentuklah Majelis Syura Muslimin Indnesia sebagai Majelis Permusyawatan Para Ulama Indonesia dan kolompok/organisasi Islam yang ada pada waktu itu dan bukan sebagai partai politik. Idenya sebagai kelanjutan dari MIAI (Al Majlisul Islamil A’la Indonesia) yang didirikan tahun 1937 di Surabya. Para tokoh Syarikat Islam secara perorangan (bukan mewakili PSII karena PSII masih dalam keadaan uzur) turut serta membentuk Masyumi sebagai lembaga musyawa-rah ummat Islam Indonesia.
Kemudian setelah keluar pengumuman pemerintah pada awal kemerdekaan agar masyarakat membentuk partai-partai politik, yang dimaksudkan untuk menunjukan kepada dunia luar bahwa kemerdekan Indonesia yang telah diproklamasikan itu didukung dan ditopang oleh kekuatan partai partai politik bangsa Indonesia, maka organisasi Majelis Syura Muslimin Indonesia menjadi partai Politik Islam Masyumi.


Terbentuknya Partai Politik Islam Masyumi sesungguhnya adalah merupakan suatu kesalahan

Hal ini adalah karena Masyumi itu didirikan sebagai Majelis Permusyawatan Para Ulama Indonesia dan kolompok / organisasi Islam yang ada pada waktu itu untuk tujuan mendirikan majelis imamah dan bukan untuk menjadi partai politik. Idenya sebagai kelanjutan dari MIAI (Al Majlisul Islamil A’la Indonesia) yang didirikan tahun 1937 di Surabaya untuk menyelesaikan perbedaan dan perselisihan paham dikalangana ummat islam.


Hal ini adalah merupakan suatu kealpaan dan kelengahan tokoh PSII yang tidak menyadari bahwa PSII sedang dalam keadaan uzur (tidak bubar)
Para tokoh PSII seharusnya mendeklarasikan lebih dahulu aktifnya kembali PSII sebagai partai politik Islam dan mengajak para pemimpin Islam itu menggunakan PSII sebagai satu-satunya partai politik Islam dan mencegah berdirinya Masyumi sebagai partai politik Islam karena tindakan tersebut dapat diibaratkan mendirikan sebuah mesjid baru disamping mesjid yang sudah ada dalam sebuah lingkungan. Hukumnya adalah membuat firkah yang tidak sesuai dengan ketentuan Allah dalam Al Qur’an surat Ali Imran (103).


Setelah terlanjur berdirinya partai politik Islam Masyumi dimana terdapat para pemimpin dan tokoh-tokoh PSII didalamnya, maka para tokoh PSII dari Sumatera Barat (Sumatera Tengah pada waktu itu) menyampaikan peringatan kepada para tokoh PSII yang ada dalam Masyumi, bahwa PSII yang sedang uzur harus diaktifkan kembali sebagai partai politik Islam. Maka sebagian besar tokoh PSII yang menyadari dan taat sebagai kader yang telah mengucapkan bai’at sebagai anggota PSII, kembali mengaktifkan PSII pada tahun 1947 di Yogyakarta sebagai partai politik dan keluar dari Masyumi.


Untuk diketahui bunyi bai’at PSII adalah sbb.:


Asyhadu allailaha illallah wa asyhadu anna –Muhammadan rasulullah
Wallahi. Demi Allah !, sesungguhnya saya masuk menjadi anggota Partai Syarikat Islam Indonesia dengan ikhlas dan suci hati, tidak karena sesuatu keperluan diri saya sendiri, atau karena megharapkan pertolongan dalam suatu perkara dari sebelum saya menjadi anggota.
Selama-lamanya saya akan meninggikan Agama Islam diatas segala apa-apa yang dapat saya pikirkan, maka saya akan tetap mengerjakan segala perintah Allah dan perintah Rasul Allah dan menjauhi segala larangan-Nya
Saya hendak mengusahakan diri dengan sekuat-kuat ketakutan saya kepada Allah Ta’ala dan dengan sekuat-kuat fikiran dan tenaga saya hendak menyampaikan maksud Partai Syarikat Islam Indonesia dan sekali-kali tidak akan membuat bencana atau khianat atas Partai Syarikat Islam Indonesia.
Saya hendak memperhatikan dan menurut dengan sungguh-sungguh ketentuan-ketentuan Peraturan Dasar dan keputusan-keputusan Majelis Tahkim Partai Syarikat Islam Indonesia dan selalu membela Partai Syarikat Islam Indonesia dari pada bencana fihak mana saja.


Kejadian tersebut menimbulkan salah paham dan friksi yang pertama dari sebagian pemimpin Islam yang ada di Masyumi kepada para tokoh dan kaum PSII yang mengaktifkan kembali PSII, yang dipandang sebagai telah keluar dan tidak taat dalam persatuan Islam dengan mendirikan PSII itu, pada hal keadaannya adalah karena taat kepada azas partai tentang uzur dan taat kepada bai’at yang tercantum dalam anggaran dasar PSII. Kondisi kesalah pahaman ini berkembang dan berlanjut hingga saat ini tanpa pernah adanya clarifikasi dan penjernihan serta pemecahan masalah tentang pemahaman arti persatuan dalam ummat Islam dibidang politik.


Perlu adanya klarifikasi tentang sejarah Partai Politik Islam


Berdasarkan hal hal yang diuraikan tersebut diatas kita tidak dapat menyalahkan betul keterlanjuran berdirinya Masyumi pada waktu itu, akan tetapi kita juga tidak dapat menyalahkan tokoh-tokoh PSII mengaktifkan kembali Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Keadaan yang demikian itu telah menyebabkan terjadinya firkah partai politik Islam di Indonesia. Persoalan selanjutnya adalah bahwa partai Masyumi telah dibubarkan oleh pemerintah Sukarno, karena alasan terlibat dalam pemebrontakan PRRI dan PERMESTA. Jika secara hukum hal pembubaran itu sah adanya, maka partai Masyumi tidak memenuhi syarat lagi untuk diaktifkan atau dihidupkan kembali, akan tetapi jika tindakan Sukarno membubarkan Masyumi dianggap tidak syah secara hukum, hanya sah secara politik maka Masyumi menurut pandangan demokrasi liberal boleh hidup lagi jika keadaan politik mengizinkannya. Akan tetapi jika ditinjau dari sudut pandangan Islam berdasarkan Qur’an surat Ali ‘Imran (103), bila telah ada partai Islam maka tindakan mendirikan lagi partai Islam adalah termasuk tindakan membuat firkah. Apalagi jika ditinjau dari sejarah terbentuknya Masyumi dimana telah ada Partai Syarikat Islam Indonesia yang sedang uzur, maka seharusnya Partai Syarikat Islam Indonesialah yang mesti digunakan sebagai wadah partai bagi Ummat Islam Indonesia. Silahkan para pemimpin, cendekiawan dan tokoh Islam berkiprah didalammnya. Dan menggunakan nama Partai Syarikat Islam Indonesia sebagai satu-satunya Partai Islam milik kaum muslimin Indonesia tidaklah boleh diartikan memenangkan kepentingan dan untuk kebanggaan kaum Syarikat Islam akan tetapi hendaklah dianggap sebagai melaksanakan perintah Allah untuk bersatu dalam wadah (jamaah) yang telah ada, dan yang menang dan bangga adalah ummat Islam Indonesia.
Cita-cita PSII untuk mewujudkan suatu kaum (jamaah) yang tidak terpecah belah belum dapat terwujud karena kenyataan, muncul banyak partai Islam di Indonesia dan ikut dalam Pemilu Pertama (1955), yaitu partai Islam NU, PERTI, Masyumi dan PSII.


PSII semasa dan setelah orde baru


Pada zaman orde baru, berdasarkan Undang-undang Parpol dan Ormas yang memasung hak demokrasi dan hak politik rakyat, PSII terpaksa dengan berat hati dibawah tekanan politik yang amat berat memfusikan kegiatan politiknya kedalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yaitu partai yang didirikan dengan memfusikan kegiatan politik dari 4 partai politik Islam: NU, MI, PSII dan PERTI. Setelah itu PSII berubah menjadi organisasi kemasyarakatan non politik dengan nama Syarikat Islam.


Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang dibentuk semasa orde baru itu meskipun dilahirnya sangat sesuai dengan doktrin atau paham kemasyarakatan Syarikat Islam tentang persatuan dalam ummat Islam, akan tetapi usaha tersersebut disinyalir kuat berbau rekayasa untuk mengendalikan dan memecah kekuatan dan persatuan dalam kelompok kelompok ummat Islam. Hal tersebut menjadi dasar keengganan sebagaian besar kaum Syarikat Islam untuk memfusikan kegiatan politiknya kepada PPP dan lagi pula karena hal itu bertentangan dengan Anggaran Dasar, keyakinan dan i’tiqad kaum Syarikat Islam bahwa PSII itu tidak dapat bubar atau dibubarkan sebagaimana yang dinyatakan oleh anggaran dasarnya.


Sinyalemen tersebut terbukti dari berhasilnya pemerintah mengintervensi PPP, mengkebirinya, dan menyelewengkan fungsinya, sehingga PPP menjadi partai ornament pemerintah atau ornament penguasa orde baru. PPP dizaman order baru hanya sebagai tukang stempel keinginan penguasa dan tukang pemberi komentar yang baik terhadap semua rencana pemerintah, serta tukang mengusulkan kemauan penguasa yang seolah-olah usul dari partai ini.
Tindakan lebih lanjut dari pemerintah orde baru mengeliminir kekuatan Islam adalah mencabut diberlakukannya asas Islam bagi partai politik termasuk PPP, sehingga dengan demikian tidak ada lagi partai Islam semasa orde baru, meskipun dalam setiap kampanye para aktivisnya selalu membohongi ummat meneriakkan PPP adalah partai Islam warisan para ulama, sedangkan asas Islam dan jiwa keulamaan itu telah tercabut dari tubuh PPP. Pemerintah turut campur dan memaksa melalui sistem intelnya kepada partai pada setiap kesempatan musyawarahnya di semua lini untuk mengganti fungsionaris yang tidak disukai pemerintah dengan orang yang diingini dan selalu ada titipan (susupan) orang pemerintah kedalam partai sehingga partai dapat dikendalikan.


Pencabutan asas Islam kemudian diberlakukan pula kepada semua ormas Islam yang ada termasuk SI yang telah menjadi ormas, menggantinya dengan Pancasila, sebagai syarat untuk memperoleh legalitas atau syarat perizinan melakukan kegiatannya secara formil.
PPP yang telah berhasil dijadikan ornament pemerintah ini lebih jauh telah menjadi partai per ”SATE” an bagi kehidupan ormas pendiri PPP. Politik belah bambu yang sering diterapkan para fungsionaris PPP terhadap ormas-ormas pendiri PPP karena tekanan politik penguasa yang dalam istilahnya dikenal dengan nama operasi TUNTAS yaitu TUNTUNAN DARI ATAS dan ditambah lagi dengan berkembangkanya usaha-usaha untuk memperjuangkan kepentingan kelompok sendiri didalam partai telah menghasilkan perpecahan dalam tubuh ormas-ormas pendiri PPP. Organisasi kaum Syarikat Islam adalah salah satu korban yang tercabik-cabik oleh rekayasa sistem politik orde baru itu disamping NU, MI dan PERTI. Pernyataan NU kembali kepada khitah tahun 26 menjelang pemilu 1987 adalah sebagai akibat dan jawaban dari sepak terjang kebijakan penguasa orde baru yang menekan dan mendorong PPP untuk menjalankan politik belah bambu yang sangat merugikan organisasi NU itu. Kelompok MI yang tidak terorganisir secara formil dan tidak pernah melaksanakan kongres ataupun munas, seperti mendapat penunjukan dari penguasa untuk memegang kendali yang mengontrol PPP. Tidak pernah PPP di ketua umumi oleh orang bukan MI setelah tidak menjadi partai Islam.


Gugurlah arti dan makna fusi partai partai Islam


Dengan kondisi PPP yang seperti itu maka seluruh ormas pendiri PPP secara tidak resmi menganggap gugur arti dan makna serta kesepakatan fusi partai-partai Islam pada tanggal 5 Januari 1973 yang menjadi tumpuan harapan ummat Islam itu. Dan dilain pihak penguasa orde baru melalui undang-undang parpol yang menerapkan sistem massa mengambang yang direkayasa sejalan dengan perekayasaan pembentukan anggota DPR dan MPR-nya tidak memberi kesempatan kepada seluruh anggota ormas pendiri PPP melakukan kegiatan politik praktis kecuali sebagian kecil anggota yang menduduki jabatan dalam PPP yang dalam istilahnya adalah orang-orang yang berada dalam sistem, yaitu maksudnya berada dalam sistem kekuasaan politik. Hakikatnya semua partai politik waktu itu (zaman orde baru) berada dibawah suatu kontrol dan kendali kekuasaan politik. Dengan demikian PPP sebagai partai Islam harus dianggap sudah tidak ada lagi, dan seharusnya partai itu ditinggalkan dan dibubarkan, dan para anggotanya kembali bergabung kepada organisasi masing-masing sebelum PPP. Dengan demikian PPP sebagai salah satu sumber pemecah belah ummat pada organisasi pendirinya dapat diakhiri.


Reformasi yang menghidupan Demokrasi dan mengantarkan Syarikat Islam kembali pada fitrahnya sebagai Partai Politik Islam


Setelah berlalunya masa orde baru, dengan adanya gerakan moral oleh para mahasiswa yang mendorong dilakukannya reformasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, untuk mengembalikan kehidupan demokrasi dan melepaskan pemasungan hak politik rakyat, maka Syarikat Islam sebagai organisasi perintis dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia yang telah mengantarkan bangsa Indonesia kedepan pintu gerbang kemerdekaan 17 Agustus 1945, serta turut aktif dalam kegiatan politik dan kemasyarakatan mengisi kemerdekaan, telah mengambil sikap dan langkah mengembalikan kiprahnya sebagai partai politik pada tanggal 29 Mei 1998 yaitu mengaktifkan kembali PSII dengan berasaskan dienul Islam sebagaimana semula.



Euphoria yang ke bablasan


Dalam awal arus reformasi yang sedang berembus itu para tokoh dan para pemimpin masyarakat dari berbagai golongan dengan riang gembira ramai-ramai mendirikan partai-partai politik menyambut datangnya era demokrasi. Tidak ketinggalan para tokoh Islam atau yang menganggap dirinya tokoh Islam turut pula mendirikan berbagai partai Islam dengan berbagai latar belakang pemikiran.


Apabila tindakan mendirikan partai Islam itu dirujuk kepada Al Qur’an surat Ali Imran (103), maka hal tersebut menurut paham kaum Syarikat Islam dapat dikategorikan sebagai membuat firkah yaitu mendirikan partai Islam setelah adanya partai Islam sebelumnya. Termasuk dalam hal ini PPP diklassifikasikan sebagai mendirikan partai Islam baru, dikarenakan PPP yang lama sudah dianggap tidak ada karena tidak lagi memegang amanat fusi yang dirusak orde baru serta dipaksa berasas Pancasila dan tertutupnya kesempatan aktifis ormas untuk bisa aktif dalam partai dan PPP sudah tidak berasas Islam.


Perolehan kursi tidak berarti legitimasi hukum sebagai partai Islam sesuai Al Qur’an
Diperolehnya banyak kursi oleh PPP dalam DPR pada pemilu 1999 belum dapat dianggap sebagai legitimasi PPP sebagai partai Islam yang keberadaannya sesuai dengan Al Qur’an, melainkan hanya karena emosinal ke islaman para pendukung yang tidak menyadari keadaan dan hukum tentang keberadaan partai Islam menurut Al Qur’an.

Mencari titik temu dengan membuka hati dan berlapang dada, ikhlas karena Allah, meletakkan kepentingan Islam diatas kepentingan pribadi dan kepentingan golongan


Dengan menyadari telah terlanjurnya berdiri banyak partai-partai Islam di Indonesia sebagai firkah-firkah kekuatan politik ummat Islam yang tidak sesuai dengan Al Qur’an, maka para pemimpin partai dan tokoh tokoh Islam bertanggung jawab, harus membuka hati selapang-lapangnya dan pikiran seluas-luasnya menyeleng-garakan forum forum dialog secara luas dan terus menerus hingga tercapai titik temu dalam visi dan missi serta rumusan-rumusan tentang hakikat, tujuan, fungsi dan peranan serta garis pemikiran yang detail tentang bagaimana seharusnya partai partai Islam Indonesia. Setiap orang Islam yang sesungguhnya adalah seorah pejuang. Seorang pejuang / mujahid Islam adalah mereka yang meletakkan kepentingan Islam diatas kepentingan pribadi dan kepentingan golongan.

Peringatan HOS Tjokroaminoto


Kalau kita mengerti benar-benar dan dengan sungguh sungguh hati menjalankan perintah perintah Islam, maka selama-lamanya kita tidak akan dapat dihinggapi nafsu egoisme, individualisme, despotisme, kapitalisme, dan lain-lain nafsu “isme” yang jahat itu.
Sebaliknya apabila ada orang Islam masih juga menjadi seorang egois, individualis, despoot, kapitalis dan lain-lain nafsu isme yang jahat itu, maka hilanglah sebagian kecil atau sebagian besar dari keislamannya atau keislamannya gugur sama sekali….


Nauzubillahi minzaliq
Billahi fi sabilil haq.

Tidak ada komentar: