Sabtu, 26 September 2009

VISI, MISI DAN FORMAT POLITIK ISLAM (5,5.5-5.6. Derajat Manusia dan Kemerdekaan Sejati)

MENUJU KESATUAN
VISI, MISI DAN FORMAT POLITIK ISLAM
oleh: Djauhari Syamsuddin

5. ASAS-ASAS PERJUANGAN

5.5. Keadaan dan Derajat Manusia dalam pergaulan hidup bersama dan didalam hukum

Oleh karena banyaknya manusia yang salah dalam memahami dan melaksanakan Agama Allah yang sesungguhnya, dan terlebih lagi lantaran dari mementingkan dan menjunjung junjung perikebendaan semata-mata (materialisme), maka timbulah rupa-rupa persoalan yang berkenaan dengan pergaulan hidup manusia (al hayat al ijtimaiyah), ialah persoalan-persoalan yang menjadikan sebabnya peperangan, pergaduhan, perbantahan, perselisihan dan lain-lain sebagainya, seperti masalah perburuhan, masalah petani, masalah pedagang, masalah kaum industriawan, masalah kaum perempuan dan gender dan lain-lainnya.

Timbulnya berbagai persoalan tersebut pada dasarnya adalah karena dangkalnya iman dan rendahnya budi pekerti (akhlaq) dan tipisnya rasa keadilan dalam diri manusia yang mempunyai potensi konflik dalam hawa nafsu.

Segala macam persoalan yang ditimbulkan tersebut hakikatnya adalah masalah kesedjahteraan umum dan rasa keadilan umum.

Kesejahteraan umum atau kesejahteraan rakyat banyak tidak akan dapat dicapai kalau segenap pergaulan hidup (mayoritas) tidak merasa menjadi satu persatuan dan kesatuan, yaitu menjadi satu badan atau satu kesatuan dengan susun-susunan peraturan terdiri dari anggota-anggota yang berhubungan lahir bathin yang satu dengan lainnya.

Dengan begitu maka persoalan pergaulan hidup tak boleh tidak mesti bersifat politik yang dilandasi prinsip prinsip kebersamaan dan keadilan.

Sehubungan dengan hal tersebut Islam berkeyakinan dan mengambil sikap bahwa dalam soal Keadaan dan Derajat manusia di dalam hukum adalah:

(1). Islam menolak memperbedakan derajat manusia di dalam pergaulan hidup bersama (di dalam masyarakat) dan di dalam hukum, kecuali dibedakan karena tingkat moralitas ketaqwaan kepada Allah swt sebagaimana dinyatakan Allah dalam Al Qur’an surat Al Hujarat: 049 ayat ke 013:
Hai sekalian manusia !, sesungguhnya kami telah menjadikan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu bersuku-suku dan bangsa-bangsa supaya kamu mengenal satu sama lainnya, sesungguhnya yang terlebih mulia diantara kamu adalah yang paling betaqwa kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui dan Maha Bijaksana.“
Persamaan drajat manusia didalam hukum, hampir keseluruhannya telah dinyatakan dengan jelas sekali dalam hukum dasar (qanun asasi) di Medinah dizaman Rasulullah, yaitu:
Orang-orang Yahudi yang menggabungkan diri dengan perikatan Ummat Islam, mendapat perlindungan dari segala permaluan dan penganiayaan, mereka mendapatkan hak yang sama dengan ummat Islam dalam pertolongan dan perlakuan yang baik. Ummat Yahudi dan ummat Islam yang berada di Yatsrib (Madinah) harus menjadi satu ummat (natie).
Orang Yahudi dapat menjalankan agamanya dengan leluasa sebagai leluasanya kaum muslimin menjalankan agamanya. Orang Yahudi dan Muslim bersatu dalam melindungi Madinah terhadap musuh. Sebagai orang muslim yang sejati haruslah menjauhkan diri dari bergaul dengan orang-orang yang berbuat kejahatan, kezaliman atau yang merusak ketertiban. Tidak boleh seorangpun menolong orang yang nyata-nyata salah sekalipun sanak saudaranya yang terdekat.

(2) Islam mengakui dan menjunjung tinggi persamaan derajat kaum muslimin laki-laki dan kaum muslimin perempuan, sebagaimana yang dinyatakan Allah Ta’ala dalam Al Qur’an surat An Nahl: 016 ayat 097
Artinya: “Barang siapa yang berbuat kebajikan baik laki-laki maupun perempuan, maka sesungguhnya Kami (Allah) akan menjadikan dia mendapat suatu kehidupan yang berbahagia…”

(3). Islam menjunjung tinggi “Persamaan hak” antara suami dan isteri dalam pergaulan hidup berumah tangga, sebagaimana dinyatakan Allah dalam Al Qur’an surat Al Baqarah:002 ayat 228,
“..dan mereka itu (isteri) mempunyai hak-hak yang setimbang dengan hak-hak laki-laki yang terhadap kepada mereka (isteri) dalam suatu cara yang bagus…”

5.6. Kemerdekaan yang sejati

Hakikat dari kemerdekaan yang sejati adalah adanya keyakinan yang kuat dan dalam pada diri seseorang terhadap ajaran Tauhid, yaitu keyakinan bahwa tidak ada persandaran dan kekuatan melainkan dari pada Allah belaka, hanya Allah saja yang disembah dan kepada Nya pertanggung jawaban akhir atas suatu perbuatan dan bahwa setiap perbuatan diyakini akan mendapat ganjaran yang adil dari Allah dan hanya kepada Allahlah tempat meminta pertolongan. (Al Qur’an Surat Al Fatihah). Tidak ada sesuatu yang harus ditakuti diatas kebenaran dan keadilan dan tidak akan terjadi suatu perkara diluar keizinan dari Allah.
Keyakinan yang kuat dalam hal ini akan menjadikan seseorang merdeka seperti udara dan sungguh-sungguh merasakan seluas-luasnya kemerdekaan yang orang dapat memikirkan dan merasakannya.
Landasan keyakinan hal tersebut diatas adalah Al Qur’an surat Al Fathir: 035 ayat 002
artinya: “Barang apa yang Allah mengurniakan kepada manusia daripada kemurahan Nya, tidaklah sesuatupun yang dapat menahankannya, dan apa-apa yang Dia menahankan, tidaklah sesuatupun yang dapat melepaskan dan merobahnya, dan dialah yang Maha kuasa dan Maha bijaksana”
Kemerdekaan yang sejati bagi seseorang mengandung unsur kemerdekaan diri, persamaan dan persaudaraan yang kuat, terbebas dari segala macam perhambaan, tidak akan larut dalam kesedihan dan ketakutan.

Tidak ada komentar: